Sudah Tepatkah Penerapan (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelarangan Sunat pada Perempuan di Indonesia?

By: Aqidah Nurul Wahidah

Pemotongan/Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP), yang lebih dikenal dengan sunat perempuan, merupakan praktik yang dipercaya dapat memuliakan perempuan (makrumah), walaupun secara medis tidak ada manfaatnya untuk perempuan.

Perdebatan terkait pelarangan P2GP atau sunat bagi perempuan telah lama terjadi. Pada tahun 2006, Departemen Kesehatan mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Nomor HK.00.07.1.3.1047a Tahun 2006 tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan. Pelarangan tersebut dilakukan karena kegiatan sunat kepada Perempuan dapat menimbulkan beberapa masalah kesehatan pada perempuan.

Dokter spesialis obgyn RSIA Anugerah Semarang, Irwin Lamtota Lumbanraja menyampaikan bahwa “perempuan yang disunat dapat mengalami nyeri pada organnya, tidak bisa menstruasi, bahkan tidak mampu hamil”. (Kompas.com, Rabu 8 Agustus 2024).

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2008 mengeluarkan Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 9A Tahun 2008 tentang Hukum Pelarangan Khitan Terhadap Perempuan. Isinya menyatakan bahwa khitan bagi perempuan adalah makrumah (memuliakan) dan pelarangan khitan bagi perempuan dianggap bertentangan dengan syiar Islam. 

Perbedaan pendapat ini ditindaklanjuti Kementerian Kesehatan dengan mengeluarkan Peraturan tentang Sunat Perempuan, Nomor 1636/MENKES/PER/XI/2010 tertanggal 15 November 2010. Melalui peraturan ini tindakan melakukan pelukaan genital perempuan bagi tenaga kesehatan justru ditegaskan atas nama jaminan keamanan dan keselamatan perempuan yang disunat. Peraturan ini sama sekali tidak menegaskan pelarangan pelukaan genital perempuan, malah menjadi petunjuk pelaksanaan bagi tenaga kesehatan untuk melakukan pelukaan genital perempuan.

Kebijakan ini ditentang oleh para aktivis perempuan dan bahkan oleh Komite CEDAW,1 sehingga kemudian pada tahun tahun 2014, Negara kembali menerbitkan Permenkes No. 6/Tahun 2014, yang memperlihatkan adanya sikap pemerintah yang ambigu. Permenkes ini berisi dua pasal: pasal pertama mencabut Permenkes sebelumnya yang dikeluarkan tahun 2010, dan pasal ke dua tetap mengizinkan P2GP dilakukan oleh tenaga kesehatan, dan justru memberikan mandat kepada Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syarat untuk membuat pedoman penyelenggaraan sunat perempuan yang isinya hampir sama dengan Permenkes 2010.

Menindaklanjuti hal tersebut dilakukan kajian oleh Komnas Perempuan dan PSSK UGM bersama UNFPA untuk memutakhirkan data Riskesdas tahun 2013 dan menjadikan data tersebut sebagai rujukan bagi kajian kuantitatif berikutnya.

Temuan Kajian Kualitatif yang dilakukan Komnas Perempuan memperlihatkan bahwa Praktik P2GP ini merupakan praktik yang membahayakan perempuan dan merupakan tindakan kekerasan terhadap perempuan. Hal yang paling mendasar adalah bahwa P2GP merupakan pelanggaran hak atas hidup dimana seharusnya setiap manusia bebas untuk menentukan hidupnya sendiri. Pengambilan keputusan dalam P2GP yang tidak pernah mengikutsertakan pihak yang padanya dilakukan P2GP (karena sebagian besar dilakukan di usia anak) secara jelas telah melanggar hak anak.

Sebelumnya, Pencegahan dan Penghapusan Praktik P2GP pernah masuk dalam Rencana Strategis dan Rencana Kerja Kementerian Agama tahun 2019-2024. Sampai akhirnya pada tanggal 26 Juli 2024 Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan disingkat PP Kesehatan. PP yang salah satu isinya terkait larangan sunat perempuan, larangan ini dilakukan sebagai salah satu upaya menjaga kesehatan reproduksi melalui sistem reproduksi sesuai siklus hidup.

Namun di sisi lain, masih terdapat beberapa daerah yang tetap menerapkan praktik sunat pada perempuan. Hal tersebut terjadi karena alasan agama dan tradisi.

Dari hasil kajian yang dilakukan oleh PSKK UGM pada 2017 dilakukan pada 4.250 rumah tangga di 10 provinsi Indonesia, sebanyak 87,3 persen responden mendapatkan informasi mengenai sunat perempuan dari orang tuanya. Doktrin agama dan juga tradisi di masyarakat menjadi alasan pelaksanaan sunat pada perempuan. Sebanyak 92,7 persen responden mengungkapkan perintah agama menjadi alasan untuk melakukan sunat perempuan dan 84,1 persen karena alasan tradisi.

 

Tags: No tags

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *